Tinjauan Psikologis Lebaran - Lebaran Sebagai Terapi Memaafkan dan Empat Pertanyaan yang Menjadi Momok Saat Lebaran
Baca Juga: Psikologi Kepemimpinan - Definis, Teori Kepemimpinan, Keterampilan Seorang Pemimpin, Gaya Kepemimpinan, dan Peran Pemimpin
3. Lebaran: Pertanyaan yang Menjadi Momok
Lebaran merupakan momen membahagiakan bagi banyak orang, bukan
hanya umat Islam saja. Lebaran menjadi ajang untuk silaturahmi dan menguatkan
kembali persaudaraan. Berikut ini tinjauan psikologis terkait dengan lebaran:
1. Lebaran: Eksistensi dan
Kekeluargaan
Lebaran adalah ajang berkumpul seluruh anggota keluarga. Mereka
yang merantau jauh sekalipun tetap mengusahakan untuk pulang ke kampung
halaman. Bahkan, mereka yang domisili tidak lagi tercatat di kampung halaman
tetap berkunjung guna melakukan silaturahmi dengan sanak saudara di kampung.
Konon, budaya lebaran berupa halal bi halal dan mudik saat lebaran, hanya ada
di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa budaya kita sangat memberikan perhatian
pada budaya kekeluargaan. Budaya yang baik tersebut penting untuk terus
dilestarikan.
“Manusia itu butuh rootness”,
demikian kira-kira pendapat Eric Fromm. Seorang individu yang awalnya
berupa janin dan berada di dalam kandungan kemudian “terpisahkan” ketika lahir
di dunia. Momen “terpisahkan” tersebut yang membuat manusia membutuhkan rootness. Keluarga merupakan lingkungan pertama
yang memenuhi kebutuhan eksistensi manusia tersebut. Dengan mengacu konsep
demikian, lebaran lebih dari hanya sekedar perayaan hari besar suatu agama
tetapi merupakan momen menyatukan kembali eksistensi manusia. Karena itulah, ada
perasaan yang “kosong” dalam diri seseorang jika yang lain mudik dan dirinya
tidak mudik. Dalam situasi tersebut, sisi eksistensi dalam dirinya yang
berbicara.
Kemajuan teknologi seperti sekarang yang memungkinkan adanya
komunikasi jarak jauh dengan video.
Namun demikian, pertemuan secara langsung tidak akan bisa digantikan dengan
suara dan gambar dari jarak jauh. Berapa banyak orang yang merasa tidak bahagia
jika tidak bisa mudik? Secara psikologi ia kemudian melakukan rasionalisasi.
Rasionalisasi artinya membuat alasan-alasan, bukan untuk meyakinkan orang lain
tapi lebih pada membuat dirinya lebih tenang. Alasan-alasannya bisa berupa;
tiket pesawat mahal, waktu terlalu pendek libur nya, ada tugas mendadak, ongkos
kalau mudik harus sekeluarga mahal dst. Tahu banyak orang mengalami hal yang
sama yang membuatnya lebih tenang. Ia merasa tidak sendiri. Di sinilah,
lagi-lagi mudik lebih dari sekedar pulang kampung tapi momen eksistensi.
Ada banyak pandangan yang berusaha mendobrak konsep Hierarki
Kebutuhan dari Maslow. Menurut Maslow, dorongan yang membuat orang bergerak
adalah aktualisasi diri. Itulah kebutuhan di puncak setelah beberapa kebutuhan di
bawahnya; fisiologis, rasa aman, cinta, penghargaan, barulah eksistensi diri. Konsep
Maslow tersebut dipertanyakan lagi dan ada yang merasa perlu untuk diubah bahwa
bukan aktualisasi diri yang menjadi puncaknya tetapi “Parenting”. Jika
dikaitkan dengan lebaran, momen lebaran bukanlah untuk mendapatkan sajian enak,
mendapat maaf, menunjukkan kesuksesan tetapi momen kekeluargaan. Karena itulah,
saat lebaran banyak keluarga menggelar arisan keluarga dalam usaha untuk
merajut kembali kekeluargaan dan kekerabatan. Semua bersaudara.
2. Lebaran: Leburan dan Terapi
Memaafkan
Selain ajang berkumpul seluruh anggota keluarga, lebaran juga menjadi
momen untuk saling maaf memaafkan. Ada atau tidaknya salah yang dilakukan, saat
bertemu di momen lebaran, masing-masing saling meminta maaf dan memberikan
maaf. Sebuah gambaran ketulusan masing-masing pihak untuk mengakui ada
kemungkinan salah dan memberikan maaf atas kesalahan yang mungkin
dilakukan. Masing-masing saling “menghalalkan” kesalahan yang dilakukan oleh
orang lain.
Lebaran itu “leburan”. Momen
lebaran biasanya menjadi orang yang lebih muda akan berkunjung pada orang yang
lebih tua; anak ke orangtua, saudara lebih muda ke saudara lebih tua dst. Di
sinilah, orang yang lebih muda datang untuk meminta maaf, entah salah atau
tidak. Kemudian akan dijawab oleh orang yang lebih tua, “Dosaku, dosamu lebur ono ing dino hariyadi iki”. Secara ringkas
artinya bahwa dosaku dan dosamu lebur atau hilang di hari yang baik ini. Oleh karena
itu, lebaran disebut juga hari “leburan”.
Umat muslim memahami bahwa Ramadhan adalah momen untuk menghapus
dosa dengan Allah SWT. Sifatnya vertikal antara manusia dengan Tuhan. Di sisi
lain, ada dosa juga yang mungkin saja terjadi dalam interaksi dengan sesama
manusia. Sifatnya horizontal dengan sesama manusia. Oleh karena itu, lebaran
menjadi momen untuk menghapus kesalahan atau dosa yang kaitannya dengan sesama
manusia. Meminta maaf itu butuh keberanian untuk mengakui kesalahan dan yang
memaafkan butuh kekuatan serta keikhlasan untuk memberikan maaf. Dalam situasi
keseharian, tentu tidaklah mudah untuk mengakui salah, meminta maaf,
lebih-lebih memberikan maaf. Lebaran memfasilitasi kesulitan tersebut dan
menjadi ajang “terapi memaafkan”.
Terapi memaafkan ini menjadi sangat populer akhir-akhir ini dan
menjadi perhatian penting dunia psikologi. Banyak permasalahan psikologis seperti;
kecemasan, depresi, tidak bahagia, dan terhambat potensi diri karena
kesulitan memaafkan. Tentu memaafkan dalam konteks psikologi lebih spesifik dan
lebih dalam lagi dibandingkan memaafkan dalam konteks lebaran. Dalam konteks
psikologi, memaafkan secara khusus pada hal-hal yang tidak sesuai dengan
harapannya; kegagalan, perlakuan tidak enak dari orang lain, tuntutan pada diri
sendiri, dan peristiwa-peristiwa yang memiliki makna psikologi negatif bagi
seseorang. Terapi memaafkan dalam konteks ini diarahkan pada kesadaran akan
situasi dan makna psikologis dari situasi yang dialami kemudian individu dengan
kesadaran serta ketulusan mengakui sekaligus menerimanya sebagai bagian dari
kehidupan. Dari penilaian bahwa apa yang dialami sebagai masalah bergeser pada
penilaian bahwa apa yang dialami hanyalah realitas. Karena manusia bukan
diganggu oleh sesuatu tetapi diganggu oleh penilaian terhadap sesuatu.
Penilaian yang didasarkan atas segala hal yang diyakini dan dialami seseorang yang
belum tentu sebuah kebenaran yang utuh.
Baca Juga: Psikologi Kepemimpinan - Definis, Teori Kepemimpinan, Keterampilan Seorang Pemimpin, Gaya Kepemimpinan, dan Peran Pemimpin
3. Lebaran: Pertanyaan yang Menjadi Momok
Ada sejumlah pertanyaan yang menjadi momok bagi sebagian orang
saat lebaran. Berikut ini sejumlah pertanyaan yang menjadi momok dan biasanya
diwaspadai banyak orang:
a. Pertanyaan Terkait Kuliah
“Sudah semester berapa
sekarang? Kapan lulus nya?”, itu pertanyaan yang muncul jika kerabat tahu
kalau kita masih kuliah. Kalau masih semester sedikit, pertanyaan tersebut
tentunya tidak akan ada artinya dan dengan tenang menjawabnya. Namun akan
berbeda jika sudah semester akhir, tahun sebelumnya bilang kalau sudah akan
lulus, dan dalam proses penelitian ada kendala yang membuat belum lulus juga,
tentu pertanyaan tersebut akan jadi momok. Cukup jawab, “Mohon doanya, semoga dilancarkan, sedikit lagi”.
b. Pertanyaan Tentang Pekerjaan
Lulus dari pertanyaan terkait kuliah bukan berarti pertanyaannya
sudah habis. Muncul pertanyaan berikutnya yang tidak kalah seru, yaitu terkait
pekerjaan. “Sudah bekerja belum?
Dimana?”, demikian tanya kerabat kalau tahu nya kita sudah lulus. Jika sudah
mendapat pekerjaan keren dan mapan, tentunya akan dengan entheng menjawabnya. Namun akan beda jika ternyata pekerjaan masih
serabutan dan terkesan apa yang dikerjakan bukan hal yang populer. Pastinya
pertanyaan tersebut akan menjadi momok bagi sebagian orang. Tips nya, cukup
jawab, “Mohon doanya, semoga dimudahkan,
ini sedang proses melanjutkan beberapa rencana karir”.
c. Pertanyaan Tentang Calon dan
Pernikahan
Lulus pertanyaan pertama dan kedua, masih ada pertanyaan
berikutnya, yaitu terkait dengan calon dan status. “Sudah punya calon? Kapan nikah nya?”, demikianlah pertanyaannya.
Kalau sudah punya calon dan sudah punya rencana menikah, pertanyaan tersebut
dengan mudah bisa dijawab. Kondisinya akan lain jika ternyata masih jomblo dan
usia sudah pantas untuk menikah. “Belum
ada calon ini, carikan dong”, itu yang terkadang jadi jawaban. Walaupun
pasti tidak akan berhenti dengan jawaban itu. Pertanyaan susulan bisa muncul
terkait kriteria calon dll. Oleh karena itu, ada yang lebih memilih menjawab, “Mohon doanya, sedang ber proses ini”.
d. Pertanyaan Tentang Anak
Lagi-lagi, ada pertanyaan yang muncul saat momen bertemu dengan
saudara atau kerabat. Kali ini terkait dengan anak. Kalau yang usia nikah nya
masih muda, “Sudah punya anak?” Kalau
yang sudah cukup lama menikah, “Anaknya
berapa?” Masing-masing akan diikuti dengan pertanyaan berikutnya; sekolah
dan aktivitas anak. Bagi yang sudah memiliki anak tentunya akan mudah menjawab
tetapi akan tidak mudah bagi mereka yang usia pernikahan sudah lama tetapi
belum dikaruniai anak. Lagi-lagi cukup dijawab, “Mohon doanya, ini masih terus ikhtiar”
Menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tidak perlu
dibawa perasaan. Anggap pertanyaan tersebut adalah bagian dari kepedulian orang
atas apa yang terjadi. Tidak perlu dianggap kalau orang lain kepo. Dengan memahami hal demikian,
tentunya akan bisa meminimalisasi perasaan tidak nyaman yang dirasakan. Di sisi
lain, perlu kiranya menjaga perasaan orang lain dengan tidak mempertanyakan
hal-hal tersebut di atas. Lebih baik menanyakan rencana-rencana mereka dan
mendoakannya. Itu akan lebih melegakan sehingga momen lebaran bisa menjadi
momen kebahagiaan tanpa rasa khawatir atau ketakutan.
Demikianlah tadi dimensi psikologis lebaran. Lebaran ternyata
lebih dari sekedar hari raya bagi umat Islam tetapi di dalamnya ada banyak
makna. Mudik pada saat lebaran dan berkumpul dengan kerabat merupakan momen
eksistensi sebagai manusia. Di sisi lain, ada halal bi halal atau leburan yang menjadi semacam terapi
memaafkan secara massal dalam masyarakat. Dimensi lain lebaran terkait dengan
pertanyaan-pertanyaan yang terkadang sangat dihindari karena jawabannya
tidaklah mudah dan menjadi momok. Bagaimanapun, lebaran adalah momen baik
sehingga sudah selayaknya berbagi kebaikan pada banyak orang.